Sebuah Sore, “disini, suara-suara terdengar begitu nyaring”

Kita tetap butuh Cakrawala untuk bisa mendendangkan sunyi.

Seperti halnya kita tetap butuh air mata untuk tahu perbedaan bahagia dan sedih itu adalah dua rasa yang berbeda.

Sejauh apa kematian dapat membuat kita diam?
Sejauh apa diam membuat kita belajar?

Sekali waktu, sore telah banyak melahap hujan dan melewatkan raja bumi.
Semua pun mendendangkan sunyi dalam gelak tawa dan kata yang hadir dalam secangkir kopi hitam kita.
Hampir habis rupanya, nyaris semua kata yang keluar membunuh laku yang kita transaksikan selama ini.
Semua tidak seindah pelangi.
Maka jangan pernah mempersepsi hujan akan terus menghadirkan pelangi, ada banyak tulisan setelah hujan datang, badai, banjir, bahkan angin dan kematian masih bisa turut dalam rinai-rinai dingin yang tak terbaca.
Kemudian beberapa saat aku yakin, ini bukanlah sebuah persahabatan.
Bukan juga pertemanan, bahkan bukan lah sebuah hubungan yang belum sempat diberi nama dalam Kamus Dunia sekalipun.

Ini hanya akan menjadi sebuah teks pengkhianatan yang mengartikan bahwa kita memang tak pernah sama dalam perbedaan ini.
Ah, kita mencoba menjadi aktris rupanya, semua menjadi “percakapan-percakapan palsu”, “Senyum-senyum palsu”, “rindu-rindu palsu”, dan semua kepalsuan dengan makna palsu mendekati imitasi yang hampir berkarat penuh.

Mungkin aku yang keliru.
Dari awal tidak melihat dua wajah yang hadir dalam satu tatapan.
Aku Rabun, dengan mata yang terbatas tanpa kaca.
Dan aku akan selalu kerdil oleh tatapan.
Maka jangan mengelak oleh keadaan, suara terlanjur keras, telinga telah tertutup dengan cairan hijau yang hampir-hampir membusuk.
Jenuh pun ada pada diam.
Aku ingin bersuara.

Jangan menilai diam adalah kebahagiaan, karena ini tidak lebih dari sebuah penghargaan komunikasi yang dalam tata krama disebut “Jangan memotong pembicaraan orang lain”

Sekali waktu, semoga kita bisa berbicara dengan suara-suara yang lebih rendah, dan menjadi pendengar yang bijak satu sama lain. Semoga kali lain ini tidak membuat kita saling membunuh dalam prasangka yang sahut-menyahut seperti suara adzan di bumi ini. (nd)

Seri ‘Perempuan untuk perempuan’
Kita pernah keliru dalam menakar waktu.

.

Tinggalkan komentar