Gagal Damai

Pagi kemarin aku menyusun buku yang berserakan. Kutata satu-satu di dalam lemari kaca kesayanganmu.

Dan aku kembali menyentuh lemari yang sebenarnya tak pernah lagi ingin kusentuh. Aku mencoba berdamai dengan lemari penuh peluh itu.

Aku kembali menyentuh satu per satu buku yang sejak 9 bulan yang lalu tak ingin lagi kusentuh. Aku menyentuhnya atas gelar yang kau sandang. Bukan atas namamu.

Jika atas namamu, manalah sudi aku mendengarnya. Menyebut dan mengejanya pun entah kenapa menjadi begitu sakit.

Tapi pagi kemarin aku kembali belajar menyentuh buku-buku kemudian merapikannya di lemarimu. Lemari yang kau puja, lemari yang kadang kamu kamuflasekan atas nama Tuhan. Lemari yang kau lindungi dengan kamuflase sakit dan gelar.

Pagi kemarin itu adalah 2 pekan yang lalu, juga 3 pekan yang lalu, juga sehari yang lalu. Tak kusebutkan angka tahun, agar tak perlu masa jauh kembali untuk bercerita betapa banyak usaha damai kemarin pagi yang kususun. Betapa banyak waktu yang kuajak untuk berdamai atas nama gelar dan janji ridha yang nalar pun kini tak menjangkaunya.

Aku yang gagal berdamai dengan buku dan lemari kacamu. Aku yang gagal berdamai. Seharusnya memang tak ada kata lupa dalam bermimpi. Setidaknya di situ aku bisa bangun dan kembali merapal doa agar aku tak sesakit ini jika memang kembali gagal.

Aku yang gagal berdamai. Untuk hari ahad yang masih terlalu jauh, semoga di sana ada buku yang kutemui tanpa cerita angkuh dan lemari tanpa peluh yang basah. Dan tentunya ada secangkir kopi yang bisa kita nikmati bersama. Ya hanya secangkir, agar kita benar-benar bisa tahu, bahwa berbagi dan pahit itu memang nikmatlah adanya.  (nd)