Ahad Sore Sampai Sebelum Senin Pagi Datang

Untuk sebuah waktu yang membuat kita bertemu, tidak tergesa-gesa. membiarkan sore dihabisi oleh adzan maghrib, dan tentunya membiarkan kopi yang kita nikmati habis dengan tidak tergesa-gesa.

kemudian, aku tahu, aku tengah menikmati waktu.

Aku tidak sedang dikejar waktu atau aku tidak sedang dikejar oleh satu suara lembut yang kemudian menjadi sesak setelah ia berbicara sinis. Walau hanya di balik sebuah alat pengirim suara.

Tidak, aku menikmati sore di hari Ahad.
Ahad yang mengajarkan aku bercerita, mengajarkan aku melihatmu tanpa dahi yang berkerut atau ujung alis yang saling memburu untuk bertemu.
Waktu yang tepat untuk kita bercerita panjang, ah, mungkin aku yang egois “waktu yang tepat untuk aku bercerita”

Hari apa kita terakhir bercerita, bukan cerita tentang pekerjaan, bukan juga tentang beban hidup, tapi cerita tentang cerita yang tidak kita ceritakan di tempat lain.
Hari apa kita terakhir saling melepas tawa, tanpa khawatir membuat orang tersinggung dengan tawa yang kita keluarkan, tanpa memaknai tawa adalah sinis, dan tanpa memaksa tawa agar menjaga hati masing-masing.
Hari apa kita saling menegur warna baju masing-masing?
Hari apa kita saling menegur sepasang sendal yang mulai membuat kaki melebar?
Atau menegur perut yang mulai buncit atau semakin menyusut ke dalam, membawa efek pipih pada lengan..
Hari apa kita saling bertanya tentang hati masing-masing?
Semua ada harinya, tapi hanya pada Ahad sore kita memiliki waktu untuk menjawabnya..

Ahad sore sampai sebelum senin pagi itu datang.
Kemudian setelah hampir dua bulan ini, banyak hari yang membuat kita belajar, bahwa betapa pijakan kaki bumi memang sangat keras.
bahwa betapa pijakan kaki bumi gersang ketika matahari menyengat, atau banjir ketika hujan berlebih dengan drainase yang ditutupi oleh sampah, di mana buyung-buyung pemegang cerutu membuangnya di sana.

Ahad sore sampai sebelum senin pagi itu datang.
Hari-hari yang banyak, yang membuat interaksi meluas, bahwa bumiku bukan hanya pada PutraWajo, bukan hanya pada Calisto7, dan bukan hanya pada FLP.
Semua memiliki cerita yang berbeda.
Jika Kau ada pada Posisiku, kau akan bertemu dengan seseorang yang bijak pemegang kamera atau sang juru tulis dengan tubuh dan kacamata yang lebih tebal. Mereka mengajarkan semangat dengan makna sederhana, bahwa hidup yang sebenarnya tidak bisa selesai hanya dengan mengeluh saja.

Kapan kita bertemu lagi? Ahad sore mungkin,
Beberapa janji terbengkalai, dan mungkin akan terbayar dengan bijak pada Ahad sore.

Ahad Sore sampai sebelum Senin pagi itu datang.
Sepertinya ini akan menjadi episode-episode panjang yang semoga membuat pijakan kaki kita semakin kuat.
Belakangan, makna merdeka pun kupertanyakan akhir-akhir ini.
dan, kutemukan Merdeka adalah ketika Ahad sore sampai sebelum senin pagi itu datang.

Atau kita tidur dengan nyenyak ketika Ahad sore, sampai waktu Maghrib memanggil kita untuk menyapa Sang Pemilik Waktu. (nd)

 

Pada sebuah hati

Jika aku orang Munafik,
Maka aku mencintaimu dengan segala kemunafikanku.,

Jika aku seorang pembohong,
biarkan aku mencintaimu dengan segala kebohonganku.,

Aku memang bukan orang baik,
tapi aku selalu ingin mencintaimu dengan cara yang baik.,

Kelak, jika kau dapati diriku dalam keadaan ‘baik’
Percayalah manusia selalu punya dua wajah, dan aku sedang memakai wajah yang satunya sekadar untuk membuatmu senang.

Kelak, jika kau dapati aku dalam posisi ‘bijak’
Percayalah, bahwa kepura-puraan masih menjadi ilmu sihir termahsyur hingga saat ini.

Mimpi-mimpi belum usai kita ceritakan seperti kopi yang belum habis semalam tadi, dari sekian banyak kosa kata negative menjadi susunan penyederhanaan kata dalam diriku, Aku percaya, kau tak akan pernah menemukan satu kata “khianat”
Aku banyak mencintaimu..

Memiliki diri sendiri



Memiliki diri sendiri

keakuan dari mana dan oleh siapa?
Jika sore telah habis, kita bisa bertanya dengan suara-suara yang sedikit, kepala menunduk, dan berbisik “keakuan ini seperti apa dan bagaimana?”
Kopi yang kita seduh pun tak menyegerakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, sebab butuh waktu sekitar 30 detik lebih setengah agar panas kopi mengambang menjadi hangat-hangat yang tersisa.
Jawabmu : “Aku lebih suka menyegerakan ini terjawab”
“Jangan tergesa-gesa, sore belum juga habis”

Memiliki diri sendiri,
Keakuan dari mana dan  oleh siapa?
Pada orang-orang yang siap memberikan kita uang,
maka bersiap-siaplah melepaskan ke dua pasang sendalmu jauh sebelum daun pintu terlewati,
senyumlah dengan semanis mungkin, usahakan bertahan 5 detik atau lebih setengah dari setengahnya,
Jangan lupa merunduk, membungkuk-bungkuk seperti budaya Jepang dalam manaruh hormat,
Kemudian berbicara pelan, menatap mata, dan rela tak menghapus keringat dan berpura-pura menikmati karena geli yang tak tertahan, sebab ini adalah tradisi hormat yang berlebih, demi sedikit atau banyak rupiah.

Memiliki diri sendiri,
Keakuan dari mana dan oleh siapa?
Jangan menumpukan harapan pada orang lain, sebab banyak kecewa yang akan kau rasa pada sandaranmu.
Ruas jari tangan dan kaki sendiri lebih baik dengan rupa yang apa adanya,
Bukankah kau sendiri yang menegaskan bahwa berharap pada orang lain justru menggantungkan diri pada kekecewaan.

Memiliki diri sendiri,
Keakuan dari mana dan oleh siapa?
Malam pun telah hampir habis,
Mencari tumpuan kuat dari tumit kaki sendiri,
Bukankah ini berat? tapi inilah yang disebut dengan Merdeka,
Pada akhirnya memiliki diri sendiri, dan memerdekakannya adalah penyederhanaan dari bahagia yang masih kita cari dari 21 sampai 23 dan angka 24 yang baru saja datang.

Aku sedang Menyederhanakan egois…
Sebab beberapa ke-egoisan dapat kita baca sebagai kemerdekaan, namun bersamaan dengan itu menjadi kungkungan bagi orang lain,.
Sebuah usaha untuk memiliki diri sendiri,
Aku banyak mencintai diriku sendiri, semoga ini bagian dari mencintai Tuhan, sebab walau bagaimana pun aku adalah salahsatu karyaNya.

nd, dalam beberapa Episode
yang tak sempat terekam dengan baik. 

Iwan Fals

Lelaki Tengah Malam dengan Segala Kesederhanannya

Semua bermain dalam kesederhanaan.
Kata yang sederhana
Laku yang sederhana
Marah yang sederhana

kemudian menjadi serpihan cinta yang sederhana
Tidakkah kau melihat bagaimana hujan turun dengan sederhana tepat di atas kepalanya, dan ia menikmati hujan dengan senyum yang sederhana.
Semua berjalan tepat pada waktunya..
Tak mengenal kata buru-buru, tergesa-gesa, tergopoh, acuh, dan pada akhirnya ada pada penyederhanaan menyikapi waktu.

Ia mencintai istrinya yang sederhana dengan cara sederhana pula, mengeja cinta, memburu cinta, memaafkan cinta, memaklumkan cinta, mencari cinta, dan menyederhanakan jenuh dengan cinta yang belum dalam.

Ia mencintai kopi, pahit dan hitam. Sebuah analogi panjang tentang hidup katanya. Harus siap dengan pahit dan hitam kelam yang ia sederhanakan dengan menyeruputnya bakda subuh dan maghrib, sama-sama perlawanan dua warna di langit katanya.

Ia mencintai anaknya dengan sangat, kemudian menyederhanakannya setelah kematian mengajarkan cinta yang sederhana adalah dengan memberi perhatian, tidak mendoktrin, mendikte, mencetak, dan bukankah anak adalah investasi? Ia merdeka, bukan tanah lempem yang bisa dibentuk apa saja.
Maka kesederhanaan cinta menjadikannya tumbuh dalam dua rambu saja yang sebenarnya hampir sempurna dengan tiga rambu. Namun bukankah kematian bukanlah pemutus segalanya? Masih ada cinta yang menyerdehanakan kematian menjadi rindu untuk berkumpul di JannahNya kelak.

Ia menyederhanakan marah, kecewa, empati dalam lagu-lagu akar rumput. Panjang, lama, sebentar, tak menjadi titik jenuh bagi yang mendengar, namun menjadi titik rindu yang pun tersusun rapi dalam kesederhanaan. Berkumpul, menikmati bersama, merayakan cinta, atau menjadi milik pribadi di ruang-ruang sempit.

Ia mencintai TuhanNya..
Ia mencintai malam dengan sederhana.
Mencintai pagi, siang dan sore, tengah malam dan subuh.
Mencintai gunung dengan sederhana.
Mencintai Hijau dengan sederhana.
Mencintai hutan dan pohon dengan cinta yang banyak.
Mencintai laut dan mencintai kesederhaan dengan cinta yang banyak.
Mencintai perempuan, menghormati Ibu, atau memangkah benci telah hilang dari dalam hatinya?
Tapi saya ingat, dia marah dan benci pada kecurangan, pada orang-orang yang menjadikan dirinya tikus, pada orang-orang yang menjadikan pembangunan sebagai sarana membuncitkan perut, pada orang tak berbelas kasih, dan bermimpi tidak ada tentara.

Sudahkah kau melihatnya tertawa lepas?
Ia bernyanyi…
Ia bersuara…
Ia bercerita…

Terlalu banyak yang ia sederhanakan..
dan ia adalah orang yang sederhana..
yang tak akan cukup dan tak bisa disederhanakan dalam tulisan ini. Ini hanyalah serumpun cinta yang banyak kukumpulkan untuknya yang jauh dari kesederhanaan.

Tuhan memiliki banyak episode indah pada setiap hamba-hambaNya,
salah satu episode indah itu adalah antara aku dan dia.

aku mencintainya dengan sangat banyak..
sekali ini, aku belajar mencintainya dengan sederhana..

Senarai Lelap

Kata-kata yang terpaut mahal
kadang kita tidak sadar telah menyakiti orang lain
Maka, tak ada yang mengizinkanku menjadi si Bodoh

namun gula dan bubuk kopi telah mesra dalam cangkir yang belum diseduh hingga adzan maghrib mengakhiri senja.
Kita tidak terpaut dalam mimpi yang sama.
Tapi aku suka mimpimu, seperti kau yang begitu suka ketika aku bercerita tentang hasrat dan mimpi-mimpiku.

Malam merambat ke subuh yang diam.
Tak ada muslim yang menunaikan 1/3 malam ini.
“semua dibuai mimpi”

Cerita Akhir April

Dari awal memang kemarahan akan selalu membunuh laku
Membunuh dengan belati, lidah, sikap bahkan langkah kaki sekalipun.

Jika diamnya perempuan adalah iya,
maka betullah jika diamnya laki-laki adalah marah.
Kesal pun telah meraja tiga hari
Alih-alih menjaga hati
Ba’da Jumat telah berada pada ujungnya,
mengusir hari menuju hari-hari setelahnya..

di sini, Laki-laki masih diam.
diam yang terpelihara, hati memupuk marah
Kita punya banyak kesempatan bersua,
tapi titik pandang kita tidak bertemu,
bertemu, lantas kau buang ke arah yang lain.
mencari namaku dari mulut orang lain.

Harusnya aku tahu diri
Harusnya aku sadar
sedari awal ini bernama penolakan..

ini benarlah bukan sesuatu yang adil
terkadang laki-laki berada pada tingkat rasional yang paling rendah
dan itu hanya karena si laki-laki sedang marah, kecewa, atau tepatnya kita sederhanakan dengan nama si Lelaki sedang memilu.

Ketahuilah, Aku banyak mencintaimu,
aku banyak menaruh hormat padamu,
aku banyak membungkuk, menyulam senyum, mengurai kata untukmu.

dan kau memilih siang, di akhir bulan April untuk mengakhiri semuanya.
Ini memang terlalu memilu dan memalukan.
Tidak ada kekuatan, seolah Tuhan pun terlupakan.

Cat.siang, 30 April 2012
Konsekuensi-konsekuensi semacam ini memang haruslah terbayar lunas
Entah harus membayarnya dengan apa?
Maaf pun hanya seperti puisi dan prosa lama yang sesaat lagi akan memudar.
Seandainya ‘maaf’ itu adalah luka..

Penegasan Manja (Laki-laki Ibu)

Penegasan Manja..

Malam yang tak berjumlah, larut berbicara tentang warna abu rokok yang baru saja habis beberapa batang mewakili warna rambut ibu, atau rambut ayah yang kemudian ikut hitam oleh warna lapisan tanah yang paling dalam..

Seberapa sering kita mendengdangkan sunyi atau mengharapkan hiruk pikuk dari hari raya menjadi nyanyian sunyi bagi sang Perawan..
ini hanyalah nyanyian manja yang tak pernah habis
beberapa kepala memilih untuk bersembunyi dibalik kepulan asap rokok, atau bersembunyi di balik suara yang tak lagi lantang, langkah cepat yang tak terkejar, kopi yang semakin menuai pahit dari setiap tegukan yang kita awali kembali, mata yang sayu, perut yang disengaja lapar, dan kaki-kaki yang baru saja menyapu debu..
dan ini hanyalah penegasan manja dari sekian langkah yang berani untuk jauh dari pangkuan ibu..

ini tidak lebih dari kemanjaan yang belum sempat ditunaikan hingga subuh kembali didendangkan oleh batu alam yang berwujud pada basah dan suapan alam kepada mata untuk tidur kembali..

Banyak yang belum ditunaikan..
Wujud subuh masih terlalu dingin untuk kata sayang,
Pagi pun menjadi rutinitas panjang untuk membereskan tugas rumah sebelum bel sekolah memanggil..
Kemudian bulan menjelma menjadi angka yang tak terhitung, menjadikan rumah sebagai penegasan sayang atas dan milik siapa?
Bukankah hari ini kita bercengkrama keras tentang utang?
kemudian bersuara keras untuk kecurangan, pengkhianatan rasa dan lidah, serta kata-kata bodoh, terakhir tentang ludah yang belum kering di pelupuk mata sang Guru..
Maka dari pelupuk mata siapa yang berbicara tentang cinta melalui air mata yang pun jauh dari asin yang akrab merangkul tanpa pijakan yang kuat?

Bukankah kamu yang bersembunyi sebelumnya untuk mata-mata cekung dan untuk penegasan cinta dan manja yang terlalu sulit bagi Laki-laki berumur tanpa uang?
“Maka sayang tak perna bisa dibeli..” ibu berucap lirih sesaat sebelum Ayah akrab dengan tanah basah ini..

Ketegasan manja,, mata-mata yang menghindar dari tatapan ibu, tapi masih berbelas kasih dari ujung jari ibu.
Apa yang kita cari??
Malam sudah larut untuk berdebat panjang tentang Ridha-Nya..

nd, 09 April 2012
jangan terlalu sering mengadili rasa yang pun kita tak tahu seperti apa wujudnya…
“Mari merayakan prasangka..”

Mengawali lupa

Batas-batas sepi yang tak berjarak..
keresahan ini terbeli sempurna
jika sangsi dengan hal ini, maka pertanyaan-pertanyaan usang pun tak terhindarkan..
Bukankah ini juga adalah pilihan??
berbagi harap dan mimpi semacamnya, membuat rasa biasa yang tak pernah bertuan sedari awal
Lantas, luka adalah hal yang terlalu biasa dan lumrah..
daun-daun luruh oleh angin dan basah oleh dingin maghrib..
Aku masih berdiri di sini,.
mencari nama,.
mencari harapan,.
mencari tatapan ramah,.
bahkan pikiran-pikiran yang terbatas ini, pun kuharap pernah menghadirkan aku di antara keduanya..
mencari diriku dari kata-kata yang juga telah mencapai jenuh dari lidah pendusta

Pagi masih buta..
Malam pun mengawali lupa dari kata si buta
Adakah ia lebih senang mencuri
harusnya aku tahu, dan ini telah menjadi pelajaran awal yang harusnya kupahami bahwa kita ada di negeri yang tak lagi melihat lusuh dan mendengar irama lapar dari si miskin, yang ada hanya hijau dari uang, dan merah untuk keserahan, dan semua hanya dinilai dari dua warna yaitu hitam dan putih..
Bukankah keadaan di sini sama saja, dan semua dimulai dari kelam malam yang tak pernah mampu membaca mimik dengan jelas..
Semua di sini adalah kebohongan yang kau baca dengan lugu..
Dan “Aku adalah penipu ulung”

Jika tidak menipu, maka kita yang tertipu
hampir senada dengan lagu “Kuda Lumping’ Iwan Fals..
kita cukup bermain pada rasa kagum,.
jika melewati batas ini, maka pahit akan menjadi akrab selanjutnya..

di sini, dari sini, kita mengawali lupa.

Kemenangan Prasangka

Sebuah Catatan ketakutan
Dan ini adalah awal dari kemerdekaan.

Kita yang pernah lupa tentang bahasa-bahasa krusial dari sebuah kebohongan
Suatu sore, entah apa yang dicari oleh laki-laki setengah baya pada perempuan yang jauh lebih pantas sebagai anak (atau cucu-jika dulunya ia menikah muda). Apa yang dicari? (Semoga pikiran kita sama). Ketika pikiran liar bermain ulung dengan prasangka, lantas tatapan, kata, laku, bahkan uang sekalipun telah menjadi rumus usang dari sepasang kaki yang tak lagi mampu berlari, tanda bahwa kaki-kaki (ini) telah begitu lama berpijak di bumi.

Sebuah pagi, laki-laki separuh baya dengan KTP bertuliskan status usang ‘belum menikah’, usianya hampir-hampir menyaingi usia Koran Nasional yang ia jajakan demi sebuah idealisme Bangsa yang entah terkubur dimana oleh rasa lapar dan BBM yang semakin merisaukan dari sebuah Negara dengan pemerintahan tanpa hati.
Apa pula yang dicarinya, pagi masih begitu pucat untuk kata ‘cinta’ pada perempuan yang pun bisa menjadi anak tanpa tuntutan waktu, atau pagi pun mulai usang oleh malam-malam yang telah lama terlewat tanpa perempuan.
Mungkin aku keliru, ia hanya ingin berbagi minuman pagi dari lemari pendingin  toko yang kemudian bergulir menjadi berbagi senyum, kata, canda, dan yang terakhir ‘(Perempuanku, aku masih cukup cerdas untuk sebuah prasangka)’, dan yang terakhir minuman pagi bisa menjadi awal dari analogi cinta yang membawa nama Tuhan demi ibadah dan mengganti kesunyian malam.
Jangan pernah lupa, memenangkan prasangka, bukanlah sebuah dosa, tapi untuk sebuah kewaspadaan.

Malam belumlah terlalu larut untuk bernyanyi tentang kesunyian. Kali ini, Laki-laki muda dengan sebungkus rokok yang dicicilnya satu-persatu untuk melunasi tuntutan pahit lidah dan kosongnya rongga paru-paru yang mencari asap nikotin yang entah untuk apa??
Dialognya menodong tanpa proloG “Kita tidak harus mesra dengan banyak gelang yang mengurangi etika pada Tuhan”
Lha?  Adakah sebelumnya kita sepakat tentang mesra dan etika Perempuan tanpa tali, bulir kayu, hitam, dan gelap yang berjejer padat di lengan tangan?
Kita bahkan belum sempat membiarkan waktu bermain di tempatnya.
Prasangka tetaplah harus dimenangkan.
Kemarahan, kepedulian, manja, yang entah untuk apa ia hadir dalam rententan tanpa waktu, aku kembali pada bahasa yang sempat kita lupa, bahasa krusial kebohongan.
Seperti sebuah Prasangka yang dimenangkan, maka kebohongan pun ada untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang sendiri.

Kebodohan meraja, sombong terpaut erat dengan resah tanpa adil yang nyata. Kita adalah Perempuan yang terbunuh oleh ketakutan-ketakutan kita sendiri, dan pilihan untuk tidak menjadi si dungu selalu ada.

Kemudian aku mencari waktu dimana tak ada ruang lagi untuk Perempuanku dengan si Lelaki-lelaki yang hadir untuk cinta yang memang dari awal telah menjadi wacana yang memuakkan, dan mulai usang oleh wajah dan suara yang tampak dan terdengar seperti deru pedati.

Kenapa memilih menjadi Laki-laki pengumbar kata tanpa keringat peluh yang harusnya hadir secara bersamaan?

Dan ingatkah kau, tentang laki-laki si Pemilik Suara dan laki-laki tanpa suara itu?
Sekali waktu kemenangan prasangka harus kita jadikan moment untuk berbagi minuman hangat kita, entah itu pagi, siang, malam, atau ketika sore hampir ditenggelamkan oleh suara Adzan Maghrib. Kemudian pagi setelah hari itu, menjadi metafora untuk Laki-laki si Pemilik Suara dan untuk Laki-laki tanpa suara.

nd, lama tidak menulis
Semoga kita tidak pernah menjadi pembunuh makna.

Sebuah Sore, “disini, suara-suara terdengar begitu nyaring”

Kita tetap butuh Cakrawala untuk bisa mendendangkan sunyi.

Seperti halnya kita tetap butuh air mata untuk tahu perbedaan bahagia dan sedih itu adalah dua rasa yang berbeda.

Sejauh apa kematian dapat membuat kita diam?
Sejauh apa diam membuat kita belajar?

Sekali waktu, sore telah banyak melahap hujan dan melewatkan raja bumi.
Semua pun mendendangkan sunyi dalam gelak tawa dan kata yang hadir dalam secangkir kopi hitam kita.
Hampir habis rupanya, nyaris semua kata yang keluar membunuh laku yang kita transaksikan selama ini.
Semua tidak seindah pelangi.
Maka jangan pernah mempersepsi hujan akan terus menghadirkan pelangi, ada banyak tulisan setelah hujan datang, badai, banjir, bahkan angin dan kematian masih bisa turut dalam rinai-rinai dingin yang tak terbaca.
Kemudian beberapa saat aku yakin, ini bukanlah sebuah persahabatan.
Bukan juga pertemanan, bahkan bukan lah sebuah hubungan yang belum sempat diberi nama dalam Kamus Dunia sekalipun.

Ini hanya akan menjadi sebuah teks pengkhianatan yang mengartikan bahwa kita memang tak pernah sama dalam perbedaan ini.
Ah, kita mencoba menjadi aktris rupanya, semua menjadi “percakapan-percakapan palsu”, “Senyum-senyum palsu”, “rindu-rindu palsu”, dan semua kepalsuan dengan makna palsu mendekati imitasi yang hampir berkarat penuh.

Mungkin aku yang keliru.
Dari awal tidak melihat dua wajah yang hadir dalam satu tatapan.
Aku Rabun, dengan mata yang terbatas tanpa kaca.
Dan aku akan selalu kerdil oleh tatapan.
Maka jangan mengelak oleh keadaan, suara terlanjur keras, telinga telah tertutup dengan cairan hijau yang hampir-hampir membusuk.
Jenuh pun ada pada diam.
Aku ingin bersuara.

Jangan menilai diam adalah kebahagiaan, karena ini tidak lebih dari sebuah penghargaan komunikasi yang dalam tata krama disebut “Jangan memotong pembicaraan orang lain”

Sekali waktu, semoga kita bisa berbicara dengan suara-suara yang lebih rendah, dan menjadi pendengar yang bijak satu sama lain. Semoga kali lain ini tidak membuat kita saling membunuh dalam prasangka yang sahut-menyahut seperti suara adzan di bumi ini. (nd)

Seri ‘Perempuan untuk perempuan’
Kita pernah keliru dalam menakar waktu.

.

Tanpa gula akan membuatnya pahit, namun dengan aroma dan rasa yang sangat kuat